...and the story begin
FIKSI INDAH PUJANGGA CINTA
Tuesday, March 21, 2006
 
Kawan-Kawan...
teman kita yang baik dan berbudi pekerti luhur ini, bikin cerpen... Cerpen yang bagus banget menurutku.

Langit sore masih berpayung pelangi sehabis hujan ketika Bintang melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang akan membawanya menuju rumah Kania, seorang gadis yang sudah lama dicintainya dan hanya dapat dipandangi tanpa bisa didekati.

“Lemas ragaku serentan jaring laba-laba, dan tulangku adalah ruas-ruas daun kering yang bisa luruh jika tertiup angin bila kumenatap wajahnya”,

katanya suatu ketika seorang teman bertanya. Tapi kini, tepatnya semenjak dua hari yang lalu. Ketika hari tak berakhir dengan sia-sia, saat sebuah cerita dapat tercipta dari makna senyum yang berbunga. Bintang merasa semesta berputar dalam genggamannya, ketika dengan sepenuhnya dia bisa menjadi penguasa hati dari sang bunga matahari yang selama ini tak tersentuh olehnya.

Tinggal seratus meter lagi, dan langkahnya kini senyawa dengan hembusan angin senja. Terlihat jauh didepan sang bunga matahari melambaikan tangan kearahnya, dengan rambut yang panjang tergerai bagai helai-helai pelangi memikat mata. Tetapi seketika langkahnya terhenti, gelap pekat tercekat dirinya tak bergerak setelah setan jalanan menghantamnya terbang melayang terhempas tak terkira seiring teriakan ngeri orang-orang disekitar. Didapati dirinya kini adalah serpihan kaca terserak tak bersisa, raganya adalah bongkahan es kutub utara tak bergerak. Tak ada lagi kerlip bintang yang mempesona dan memberi imaji, mimpi serta sugesti dimalam hari. Hanya jingga tersisa dijiwa, hanya mata yang menyimpan kenangan, hanya dirinya. Dilihat bunga mataharinya kini tertunduk layu tak bersuara. Sirna segala kecantikan dari wajahnya. Matanya kini adalah telaga yang tumpahkan gerimis. Sengkarut hatinya adalah selapis membran tipis yang rapuh dan terjalin dengan otaknya yang kusut kelabu.
Tak kuasa Bintang melihat kepedihan Kania, ia berteriak,

“hapus air matamu, raih tanganku dekapkan ke jantungmu, akan kuberikan lagi seruas rusukku untuk menyanggamu, Biarkan kuselimuti seluruh lukamu dengan sayap malaikatku!”.

Tetapi percuma, teriakannya tak terdengar bagai terhalang dinding tebal yang bisa menghisap suara. Dicoba untuk meraih Kania, tapi kini tangannya adalah udara yang tak kasat mata. Bintang pasrah dan rela jika memang harus sampai disini akhirnya. Tapi dia tak mengerti, mengapa jiwanya masih didunia. Dia bertanya,

“dimana cahayanya? kemana jalan yang bisa mengarahkanku ke nirwana…?”

Aku sudah tak kuasa melihat kepedihan ini.

“Tolonglah… tunjukkan padaku!”.

Dia resah akan keberadaannya kini. Dikuatkan dirinya untuk beranjak pergi meninggalkan segala kepedihan itu. Dia tak merasa bahwa ada sepasang mata yang telah memperhatikan dirinya sejak tadi. Sesosok beraurakan sinar putih mendamaikan mata yang memandang. Jika diperhatikan rambutnya yang kelabu lurus sebahu. Wajahnya yang tenang seteduh langit di sore hari. Sorot matanya adalah anak panah yang terlepas lurus mencari sasaran. Dia berdiri tak jauh dari Bintang berada, dibawah sebatang pohon yang cukup rindang tepatnya. Bukan, dia bukan sesosok perempuan, tetapi sesosok laki-laki yang masih sebaya dengan Bintang.

“Hei…, mau kemana kamu!”

Sosok itu berteriak kearah Bintang yang baru mulai beranjak pergi. Bintang terdiam, dia tak yakin akan pendengarannya. Dia yakin tak akan mungkin kalau suara itu ditujukan kepadanya.

“Ah…tak mungkin ada yang memanggilku, aku tak kasat mata dan tak seorangpun bisa melihatku”, gumam Bintang.

Dan dia pun mulai melanjutkan langkahnya lagi.

“Iya….kamu yang menebar kepedihan, siapa lagi!”

teriak si sosok kemudian. Bintang menghentikan langkah, lalu memalingkan wajahnya kearah sumber suara. Dilihatnya sipemilik suara melambaikan tangan, memberi tanda agar dia menghampiri. Bintang pun menghampiri laki-laki tersebut.

“Kamu bisa melihat dan mendengarkanku?”

tanya Bintang kepada laki-laki tersebut ketika dia sudah berada dihadapannya.
Sepertinya aku tak perlu menjawab pertanyaan itu, dan lebih baik lagi jangan banyak bertanya karena mungkin aku sudah tahu apa yang ingin kamu tanyakan, jawab laki-laki tersebut. Lalu laki-laki itu melanjutkan perkataannya, tanpa memberi kesempatan Bintang untuk berbicara.

“Aku tahu apa yang kau rasakan saat ini, dan aku juga tahu kenapa kamu bisa seperti ini. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang malaikat yang diutus untuk membantu menyelesaikan permasalahanmu, dan namaku Bima”.

Sambil tersenyum diulurkan tangannya. Bintang merasakan suatu aliran aneh yang mengalir terjalin kedasar jiwa saat menyentuh tangan itu. Seakan baru saja ia membaca lembaran-lembaran yang berisikan jawaban semua kebimbangan dan keresahan. Dirinya adalah lembaran kanvas putih yang baru saja ditorehkan warna-warna. Dada yang sesak dan berat penuh dengan pesimisme serta berbagai perasaan yang bercampur aduk, akhirnya dapat merasakan sejuknya keyakinan, luasnya harapan dari peralihan mendadak yang amat jauh jangkauannya yaitu titik terang.

Lalu sambil tersenyum Bintang berkata,

“aku percaya kepadamu, seperti kepercayaan malam kepada bulan hingga menjadi indah gelapnya. Tapi dimana kedua sayapmu? apakah kau sembunyikan?”.

“Oh…tidak, aku tidak menyembunyikan sayap-sayapku. Memang mereka belum tumbuh, karena masih banyak tugas dan tanggung jawab yang harus kuselesaikan hingga Penguasa Alam Semesta ini belum menghadiahkan sayap-sayap itu padaku. Dan jika pada saatnya nanti mereka akan tumbuh”,jawab Bima.

Lalu ia melanjutkan perkataannya.

“Tapi itu tidaklah penting saat ini, yang utama adalah bagaimana aku bisa membantu menyelesaikan permasalahanmu. Sekarang mendekatlah padaku, pejamkan matamu dan raih kedua tanganku. Tariklah nafas yang dalam, biarkan cahaya-cahaya itu membasuh kembali ingatanmu dan menghapus jingga di matamu lalu selamilah. Kelak kau akan mengingat tempat-tempat dan kejadian yang pernah kau datangi, bahkan mimpi-mimpimu pun akan terlihat. Dan pasti kau temui jawaban yang kau cari diujungnya nanti”.

Bintangpun melakukan apa yang baru saja dipaparkan Bima kepadanya, secara perlahan dia merasakan seperti apa yang diuraikan Bima. Semestanya kini lebih tajam, lebih jernih. Tiba-tiba saja Bintang sudah bersenyawa dengan cahaya-cahaya yang seperti buku terbuka, dan lembaran-lembarannya pun bisa terbaca…..
Masih jam satu siang ketika Bintang sedang tenggelam dibarisan kalimat-kalimat bacaannya. Ini berarti tiga puluh menit lagi Bintang harus membunuh waktunya di pojokan taman kampus hingga mata kuliah berikutnya dimulai. Suatu tempat yang bisa menghilangkan penat sesaat setelah otak dijejali doktrin-doktrin, teori-teori, metafora, serta pola pikir yang melelahkan. Meski sampai berbusa bicara tetap saja semua itu akan rontok pada tahap aplikasi nanti. Sungguh melelahkan….!.

Namun konsentrasi Bintang terpecah ketika secara tiba-tiba dia mendengar suara serupa bisikan seperti gemerisik dedaunan yang jatuh lembut ditelinga memanggil namanya. Dihadapan kini sudah berdiri sesosok bidadari, yang membuat matanya tersihir untuk terus manatap keindahan itu. Kania nama bidadari itu. Tetapi Bintang lebih suka memanggilnya bunga matahari, karena walaupun besar dan tak menebarkan wangi tapi mekarnya sangat mempesona. Itulah jika kita melihat senyum Kania jelasnya. Sudah dua tahun Bintang mengenal Kania. Tepatnya pada acara orientasi kampus yang diadakan untuk mahasiswa-mahasiswi baru dan pada saat itu kebetulan mereka dalam satu kelompok. Semenjak itu hatinya sudah tercuil untuk sang bunga matahari, tapi dia tak berani untuk mengutarakannya.

Kania adalah puncak Himalaya yang dihuni para Dewa, sedang aku adalah pendaki kehilangan arah yang sudah kehabisan logistik diantara para pendaki berlogistik lain dan tak akan mungkin sampai puncaknya. Jadi aku hanya bisa mengagumi puncak itu dari bawah saja”,
kata Bintang.

“Bin… ini buku yang aku pinjam kemarin”,

Kania menyerahkan buku bercover Naga Saphira dengan warna biru milik Bintang. Eragon judul buku itu. Bercerita tentang petualangan, kepahlawanan serta kesetiaan seekor naga kepada penunggangnya. Kemudian Kania mengutarakan kesukaannya pada buku itu, dan dia juga menanyakan perihal secarik kertas yang berisikan bait-bait puisi didalamnya. Dia menanyakan apakah puisi tersebut buatan Bintang. Bintang terkejut, sungguh ia lupa akan curahan hati yang tertinggal di buku itu. Lalu ia mengangguk kemudian menunduk malu tak berani manatap wajah Kania. Kemudian Kania juga menanyakan apakah puisi tersebut buat Kep?, karena nama itu tertera di puisi. Dan siapakah Kep itu?. Bintang ingin sekali bersuara, merangkai semua tanya yang menerpa dirinya. Rangkaian kata-kata sudah membanjiri rongga laring, tapi mulutnya seperti terkunci tak mau membuka. Jika saja saat ini benakku adalah lembaran-lembaran buku akan kubiarkan terbaca oleh Kania apa yang tersirat. Dan aku tak perlu lagi menjelaskan semua ini, gumamnya.


Kep…
aku ingin menjadi udara yang terhisap dalam paru-parumu
masuk merasuk memberikan kehidupan bagimu
aku ingin menjadi bintang utara di atas langit malammu
yang selalu bersinar menunjukkan arah langkahmu
kamu tahu…
andai kudapat merengkuh matahari
akan kupaksa ia turun dari tahtanya
dan kugantikan dengan senyummu”


Mulut Bintang akhirnya tak kuasa menahan luapan kata-kata yang sudah berdesakan di tepian bibir, reaksi kimia ditubuhnya telah memompa adrenalin sampai ke ujung kepala. Ditatapnya wajah Kania, ia berpikir inilah saat yang tepat untuk menghilangkan keruh dihati. Dia mengangguk dan menjelaskan bahwa Kep itu inisial dari nama Kania.

“Ya… itu memang namamu. Kania Esa Putri…., yang berarti karunia dari Yang Maha Esa berupa seorang putri. Tapi bagiku dirimu lebih dari seorang putri. Engkau adalah mewangi bunga di musim semiku, senandung keindahan di musim gugurku. Dan kurasakan gelora semesta disetiap senyummu. Aku memujamu. A…ku mencintaimu sejak pertama kita bertemu…”, urai Bintang.

Ditatapnya wajah Kania, tubuhnya mematung bagai pasak yang menembus tanah. Dia menanti untaian keajaiban keluar dari mulut Kania. Keajaiban yang bisa mendamaikan resah hatinya. Atau mungkin saja bukan keajaiban yang keluar, tetapi palu yang bisa meremukan hati dan tulang-tulangnya hingga luluh tak bersisa. Tetapi tak sepatah kata pun keluar dari bibir Kania. Hanya senyum yang ada dibibirnya. Senyum berbunga dengan makna yang bisa membuat satu puisi, satu prosa bahkan sebuah cerita tercipta. Bintangpun tersenyum, lalu ia meraih tangan Kania dan digenggam dengan hatinya. Dan mereka berjalan bergandengan menyusuri hari itu yang berakhir dengan tak sia-sia tanpa memperdulikan tatapan-tatapan iri disekitar mereka.

“Nanti sore aku ke rumah kamu ya…, ada yang ingin kuberikan kepadamu”,

kata Bintang ditelpon. Dan itu merupakan kata-kata terakhir yang diucapkan pada Kania lewat telpon, dia tak menyadarinya Dia terlalu senang saat itu. Ada sepuluh puisi yang akan diberikan untuk Kania. Puisi-puisi yang telah dibuatnya untuk Kania, hingga sore harinya…..

Bintang seperti tersentak oleh tegangan listrik seratus tujuh puluh volt ketika ia mencoba melepaskan tangannya dari Bima. Jiwa yang tak lagi beraga itu seperti kapas ditiup ke udara, melayang kemudian jatuh perlahan kembali. Bintang berteriak kepada Bima, dia begitu bersemangat menjelaskan mengapa ia melepas pegangan tangannya. Kini ia telah mengerti bahwa saat itu ia akan menyerahkan puisi-puisi yang dibuatnya untuk Kania. Kemudian ia bertanya kepada Bima apakah itu tugas yang harus ia selesaikan, dan apakah karena itu pula mengapa jiwanya masih didunia.

“Memang…., itu adalah tugas yang harus kau selesaikan. Bukankah hatimu sendiri yang berkeinginan begitu. Cobalah kau tanyakan pada hatimu. Kamu tahu…. hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikirkan menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar. Selain itu mata hati dapat melihat tujuh puluh kali lebih besar kebenaran daripada dua indera penglihatan. Aku tahu kalau jiwamu sudah merelakan semuanya, tapi hatimu belum. Itulah yang harus kau sadari saat ini. Kau harus menyampaikan puisi-puisi itu pada Kania”, jelas Bima.

Bintang terdiam sejenak, kemudian ia bermaksud kembali ke tempat raganya tergeletak tadi. Tapi disadari bahwa hanya gelap dan sepi meraja disekitarnya kini. Sudah tak ada lagi kerumunan orang, raganya pun sudah tak ada lagi. Puisi-puisi yang tadi digenggam tangannya pun sudah tak ada lagi. Mungkin terbawa angin atau bahkan tertelan gelap yang pekat dengan dingin menusuk tulang. Bimbang dirinya, gundah jiwanya.

“Apakah aku bisa menyelesaikan tugasku? Apakah aku bisa menemukan jalanku ke nirwana?”, tanya Bintang.

“Sudahlah, kamu jangan bingung seperti itu. Untuk itulah aku dikirim kesini, yaitu membantumu. Jadi usahlah ragu, sekarang ikutlah aku karena kini saatnya kita jalankan tugasmu”, jelas Bima.

Dipeluknya Bintang lalu dibimbing mengikutinya. Sesaat langit menyala, kemudian seperti kaca meretak, dan dalam hitungan satu kedipan mata mereka pun sirna dari pandangan. Sekarang hanya tertinggal pekat malam yang senyap mencekam dengan sisa-sisa kepedihan terserak. Benar-benar sebuah metafora kehidupan yang menyakitkan, membunuh kuntum-kuntum keindahan yang baru saja mekar di tepian jalan. Tapi kita masih tak tahu. Yang kita tahu hanyalah bahwa ini merupakan awal cerita dari sebuah akhir. Sederhana saja atau mungkin sebuah mimpi nanti akan terberi.


*Cerpen ini adalah sebuah kejujuran hati sang penulis ....cieh...good luck ya Bro!!! selamat Ul-tah...panjang umur, sukses buatmu, and keep on writing!!!
unai @ 6:39 PM -

7 Comments:
  • At 7:25 PM, Anonymous Anonymous said…

    aduhh...bagusnya cerpen ini...nitip salam ulang tahun juga deh buat teman kita yang baik budi itu ;)

     
  • At 9:45 PM, Anonymous Anonymous said…

    pak heru selamat yah hehehhehehe, duh telat nih *eh ga tau ding emang*

     
  • At 2:57 AM, Blogger kinanthi sophia ambalika said…

    aku melu titip jeng :)

     
  • At 2:22 PM, Blogger ipal said…

    mbak aku melu titip ucapan heheh....
    mbak pinjemin koleksi buku nya donk leh ga mbak?

     
  • At 2:57 PM, Blogger mamat ! said…

    aku juga titip dong.
    *eh titip apaan sih ? pecel kan ?*

     
  • At 6:37 PM, Anonymous Anonymous said…

    mbak, anak angkringan.co.id
    mo ke sekaten bareng tgl 30 maret besok
    jam 15.00

    kita ngikut yok!

    biar bisa nyatu ma mereka gitu...
    (tapi resikonya, mbak unai bakal keliatan paling tua deh hihihihihi)

    eh gimana mbak, aku ada stiker WWW.BLOGFAM.COM mau ga? tapi tinggal satu...
    buat mbak unai aja deh, aku iklas kok :D

     
  • At 8:47 AM, Anonymous Anonymous said…

    Excellent, love it! » » »

     
Post a Comment
<< Home
 
 
Profile

unai - Yogya, Indonesia
Sebelum kita mengantarkan mentari pulang ke peraduan, mari buka tirai sejenak, agar angin menelusupkan damai...meninggalkan rahasia..entah untuk siapa??? UNTUKMU ???
My profile

 
tag here please
Free shoutbox @ ShoutMix
 
 
Guys Next Door
 
Other Side of Me
 
 
Hobbies
 
Previous Post
 
Recent Comments
 
Archives
 
credits

BLOGGER


BlogFam Community

Lomba Blogfam HUT Kemerdekaan RI ke 62
Lomba Hut ke-3 Blogfam

Tour de Djokdja

Pesta Blogger 2007